Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

Mar 25, 2013

Ketika Mama Memelukku


Ketika Mama Memelukku
Karya Rahma Mamlu'atul Maula

Kamu itu hanya bisa bikin mama marah,nggak pernah mau dengerin apa kata mama,kamu hanya bisa bikin mama kesal,lihat itu kakak kamu,dia selalu dengerin mama’’.kata-kata itu tak pernah berhenti kudengar di setiap hariku dari mulut mama,aku tak tau apa salahku sehingga mama begitu membenciku,apa karena aku cacat,atau karena papa???
‘’Tiara....’’.kakek menghampiriku’’masuk yuk nak,mau hujan tuh’’.imbuh kakek
‘’Apa jika tiara kehujanan mama akan mengambilkan selimut untukku,apa jika tiara kedinginan mama akan menyelimuti aku kek??’’.tanyaku
‘’kakek yang akan mengambilkan selimut dan payung untukmu sayang,karena bagi kakek mutiara sepertimu tak ada duanya,mutiara yang begitu berharga di mata kakek’’,ujar kakek
‘’Benarkah???’’.
‘’Yakinlah...masuk yuk’’.kakek mengulurkan tangan padaku,ku sambut tangannya,kulihat mama keluar dari kamar kak intan dengan keadaan panik..
‘’Serly...ada apa?’’,tanya kakek pada mama
‘’Penyakit intan kambuh pa,telepon dokter pa,telepon’’,kata mama,segera kakek meraih gagang telepon yang ada di ruang tengah, dan mama masuk kekamar kak intan,mencoba menenangkan kakak,ku intip dari balik pintu, mama begitu panik dan kwatir jika terjadi sesuatu dengan kak intan,jika itu terjadi padaku apa mama juga akan melakukan hal yang sama seperti itu,kulangkahkan kakiku memasuki kamarku karena tak sanggup mendengar jeritan sakit dari mulut kak intan,ku baringkan tubuhku,suara kak intan tak lagi terdengar,mungkin dokter telah datang dan memberi obat penenang, untunglah. . . kupejamkan mataku....
‘’Ra...’’.mama membuka pintu kamarku,terlihat pipi mama yang basah karena air mata yang mengalir di pipinya
‘’Mama....’’.aku segera beranjak
‘’Jika mama minta sesuatu dari kamu apa kamu akan mengabulkannya???’’.
‘’Pasti ma,apa ma???’’.
‘’Berikan ginjalmu pada kakakmu’’.mama begitu lantang berkata seperti itu,tanpa memikirkan persaanku ataupun memperdulikan aku,aku tak tau apa yang ada di fikiran mama,hingga mama tega berkata seperti itu,mendonorkan ginjalku pada kak intan,sama saja mama menginginkan aku mati.
‘’Mama menyuruhku mendonorkan ginjalku pada kakak???’’,aku menangis
‘’Kamu sayang kan sama mama,kalau iya,lakukan,jika kamu pengen lihat mama bahagia’’.kata mama berlalu dari hadapanku, ku robohkan tubuhku di atas kasur,aku tak tau harus berkata apa,yang pasti hatiku hancur,sangat-sangat hancur,ibu yang telah melahirkan aku menyuruhku mendonorkan ginjalku pada anak pertamanya untuk membuktikan jika aku benar-benar menyayanginya. . .
****


Aku baru ingat jika hari ini aku ada janji dengan mama untuk di periksa darahku apa cocok dengan kak intan,untuk memastikan apa aku cocok sebagai pendonor kakak, ku percepat langkahku agar lebih cepat sampai di rumah,aku mencoba mencari angkutan umum atau apalah yang bisa mengantarkan aku pulang,tak mungkin jika aku harus berjalan lebih jauh lagi,tongkat yang menyangga kaki kananku pun tak mampu mengurangi rasa capekku,akhirnya ada juga angkutan yang lewat,segera aku naik dan menuju rumahku,hujan mengguyur halaman rumahku,ku pikir tak akan ada petir ataupun gemuruh,tapi ketika aku membuka pintu rumahku...
‘’Dari mana aja kamu’’.suara mama mengagetkan aku di antara dinginnya malam
‘’Tadi tiara dari toko buku ma,tiara tiara...’’,kataku terputus
‘’kamu sengaja kan pergi ke toko buku agar kamu nggak jadi ke rumah sakit untuk periksa darah,iyakan,kamu sengaja kan,kamu seneng kan melihat kakakmu mati’’.kata mama bertubi-tubi
‘’maafin tiara ma’’.aku menunduk
‘’,Nangis terus aja sana nangis,Cuma itu yang bisa kamu lakuin’’.mama memunggungiku,
‘’apa salahku ma,kenapa mama begitu membenciku????’’.
‘’kamu pingin tau apa kesalahanmu’’mama geram,menatapku dengan tatapan sinis,’’karena kamu yang udah nyebapin papa kamu meninggal dan membenciku,malam itu mas aldo sangat marah sama aku ketika aku ingin membunuhmu,aku ngak mau punya anak cacat kaya kamu,dia membawamu pergi tapi di tengah perjalanan mas aldo mengalami kecelakann dan meninggal,kenapa harus mas aldo,harusnya itu kamu tiara kamu’’.mama menangis mendorongku hingga aku tersungkur di lantai,aku hanya bisa menangis,mama benar-benar menginginkan aku mati,aku terdiam, suasana jadi hening,hanya suara rintikan gerimis yang kian reda dan hembusan angin malam yang kurasakan dan memberiku kekuatan untuk menjawab serangan mama padaku
‘’ma....jika itu yang membuat mama seneng dan itu yang membuat mama sayang sama tiara,baik ma,baik,biar tiara berikan ginjal tiara untuk kakak,tiara nggak papa kok ma,’’aku berlalu dari hadapan mama,masuk kedalam kamar,ternyata kakek mendengar pembicaraanku dengan mama.
‘’serly...apa-apaan kamu,kamu menginginkan tiara mendonorkan ginjalnya untuk intan, gila,benar-benar gila,ibu macam apa kamu ini,kamu benar-benar nggak punya hati,dimana naluri kamu sebagai seorang ibu,memberikan ginjal tiara pada intan sama saja kamu menginginkan tiara mati’’.kata kakek
‘’tiara kan masih memiliki satu ginjalnya pa,dia masih bisa hidup,lagian buat apa dia hidup???,dia hanya menambah bebanku,hanya bikin aku malu karna dia cacat,serly malu pa,serly malu’’,suara tamparan kakek ke mama begitu jelas terdengar di ceruk telingaku yang kian lebar,aku tak kuat lagi,menutup telingaku dengan bantal
‘’kamu tau,2 tahun yang lalu ketika kamu mengalami kecelakan dan harus mendapat donoran ginjal,tiara yang memberikan ginjalnya padamu,karna apa,karna dia sangat sayang padamu,tapi apa balasannya,kamu menginginkan dia mati dan tak pernah menganggapnya anak’’,aku kakek,mama menangis
‘’apa???jadi tiara yang mendonorkan ginjalnya padaku pa,iya pa iya???’’.tanya mama,kakek menangis,mengangguk,mama menangis menyesali perbuatannya,mama menuju kamarku....
‘’haaa....kenapa ma,kenapa,kenapa mama begitu membenciku,kenapa,mama bilang jika aku yang nyebabin papa meninggal,karna aku cacat,mama jahat mama jahat,apa aku nggak pantas hidup ma,kenapa mama begitu tega nglakuin ini padaku ma,kenapa,jika memang mama lebih memilih aku yang mati dari pada papa kenapa dulu harus aku yang selamat,aku benci kakiku aku benci aku benci’’,aku mengutuk diriku dan memukuli kakiku dengan tongkatku,meraih foto papa yang tengah terseyum dengan bayi di pelukannya’’pa...maafin tiara pa,maafin tiara karena tiara papa jadi pergi untuk selama-lamanya’’.aku menagis,tersedu-sedu, mama menangis pergi ke kamarnya....
******

Aku memberanikan diri masuk kedalam kamar kak intan untuk melihat keadaannya..
‘’tiara..’’.panggil kak intan lemah
‘’iya kak....’’.aku mendekat ke tempat tidurnya
‘’apa kamu benar-benar mau mendonorkan ginjalmu padaku,ra’’,tanyanya,ku anggukkan kepalaku’’buat apa???’’,imbuhnya
‘’karna kak intan kakakku,hanya itu yang membuat mama bahagia kak,hanya itu,melihat kakak sembuh,tanpa melihatku ada di dunia ini lagi,hal terpenting dalam hidupku adalah melihat mama tersenyum padaku,aku pengen banget kak di peluk mama,mendapat kasih sayang mama,tapi itu tak pernah ku dapatkan dari mama kak,tak pernah..’’.akuku,kak intan melepas selang infus di tangannya dan memelukku
‘’mama sangat sayang sama kamu tiara,suatu saat kamu akan mendapatkan semua itu’’.kak intan memelukku dengan erat,dan tiba-tiba menggerang kesakitan, aku panik,mama muncul dan aku langsung menghindar,mama menatapku dengan tatapan berbeda,aku segera keluar dari kamar kak intan,aku tak mau jika mama menyuruhku keluar ataupun berkata lagi jika aku harus mendonorkan ginjalku,karena pasti aku akan menepati janjiku,tanpa harus berkata berulang kali yang akan menyayat nyayat hatiku,sirine ambulane terdengar berada di halaman rumahku,ku intip dari balik jendelaku,kak intan di bawa ke rumah sakit,dan aku harus menyiapkan diriku untuk di operasi...
‘’tiara..kamu disini aja,jangan kemana-mana,ngerti’’,teriak kakek mengunci pintu kamarku dari luar,aku mencoba membuka pintuku,aku tak bisa terus terusan di sini,aku harus segera ke rumah sakit,kak intan membutuhkan ginjalku.

*******

Aku berhasil keluar dai kamarku lewat jendela,terlihat di depan ruang ICU seorang perempuan setengah baya tengah menangis di pelukan seorang laki-laki yang rambutnya telah ber uban,ku hampiri mereka...
‘’mama...kakek,dimana kak intan???’’,tanyaku,kakek menggelengakan kepalanya,kak intan????jadi aku terlambat????
‘’mama...maafin tiara ma,tiara nggak bisa nepatin janji tiara’’.kataku,mama melangkahkan kakinya mendekatiku dengan tatapan tajam ia terus maju dan semakin medekatiku,ku pejamkan mataku,mungkin mama akan menamparku atau bahkan membunuhku...tapi....mama memelukku....
‘’tiara....maafin mama ya nak,slama ini mama udah jahat banget sama kamu,mama udah keterlaluan banget sama kamu,mama memang bukan ibu yang baik buat kamu sayang maafin mama tiara sayang maafin mama’’,mama memelukku dengan erat,apa aku sedang bermimipi,mama memelukku,inilah pertama kali dalam seumur hidupku di peluk oleh mama,aku seneng banget,,,
‘’mama....mama nggak salah kok,tiara seneng akhirnya mama memelukku’’.kataku,mama semakin mendekapku,ku lirik kakek,terlihat dari sudut mata kakek tengah berkaca-kaca
‘’iya sayang iya,mulai sekarang mama janji mama akan selalu nyenengin kamu dan ngebahagiain kamu,mama janji’’,ujar mama ’’pa..maafin sherly ya,kalau serly banyak salah sama papa’’.kata mama,kakek menganggukkan kepalanya,meraih bahu mama dan memeluk mama...
*******

‘’kak...selamat jalan ya,doa kami selalu menyertai kakak,makasih ya kak,karena slama ini kakak yang udah membuat aku kuat menjalani ini semua,kita semua sayang sama kakak’’,kataku menaburkan bunga rampai di atas gundukan tanah merah itu,
‘’sayang kita pulang ya....’’.ajak mama merangkulku menuju mobil....

Sore ini beda dari sore yang lain aku tak lagi harus menangis karena mama,tapi aku akan selalu tersenyum karena mama,makasih ya ma,kek,aku sayang kalian....burung-burung berterbangan di awan sana bagai ikut merasakan kebahagian yang tengah kurasakan,pelangi yang cantik itu seperti tengah tersenyum padaku,sinar senja yang menembus kaca jendela mobilku menemani perjalananku menuju rumah,ku sandarkan kepalaku di antara paha mama,dan mama mengelus rambutku dengan lembut.....


SELESAI . . .


AYAH


AYAH
Karya Mirza Diani Amalia

Aku benci kepadanya. Bnar-benar benci. Laki-laki paruh baya itu, yang seharusnya amat kucintai, satu-satunya orang yang kumiliki setelah Ibu pergi, malah ku benci mati-matian.

Setiap hari, aku selalu pulang lewat tengah malam. Bagiku, berada dirumah itu bagaikan di Neraka. Satu alasan, karena dirumah ada orang itu.Setiap ia memergokiku pulang larut malam, Ia langsung memarahiku habis-habisan, mengomel panjang lebar. tentang ini lah, itu lah. Yang ia tak tahu, Ucapan panjang lebarnya itu sia-sia. Membuang tenaganya saja, karena toh aku sama sekali tak menghiraukannya, menutup kupingku rapat-rapat, seolah tak ada yang berbicara kepadaku.

Entah apa yang merasuki diriku, hingga aku benar-benar membencinya. Dia Ayahku! Ayah kandungku! tapi apa pantas ia ku panggil Ayah? Dia membuangku dan Ibu, sementara ia menikah lagi dengan wanita lain, yang lebih muda dan cantik daripada Ibu. Lalu tiba-tiba ia kembali lagi dalam kehidupan kami setelah wanita itu pergi meninggalkannya. Apa pantas laki-laki tak bertanggung jawab ini ku panggil ayah?! Kemana saja ia seelama ini?! Aku dan Ibu, bersusah payah hidup melarat di jalanan, tanpa sepeser pun uang. Sebungkus nasi untuk makan pun kami sudah sangat bersyukur.



Ayah macam apa, yang membiarkan anaknya, memeras keringat dibawah terik matahari, membiarkan anaknya bertaruh nyawa di tengah jalanan yang penuh mobil-mobil berseliweran, sementara dirinya enak-enakan. Duduk manis, bersantai di rumah mewah bersama wanita yang tak tahu diri itu tanpa memikirkan sedikitpun kondisiku dan Ibu. Kutanya sekali lagi, apa itu pantas disebut ayah?!

Puncak kebencianku padanya, pada suatu waktu, saat aku mencoba melunakkan hatiku untuk ikut makan malam bersamanya. Ia mengajakku berbicara tentang masa depanku. Bulan depan aku lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dia memaksaku mengambil jurusan Ekonomi manajemen untuk meneruskan bisnisnya. Tapi ia tak pernah tahu, kalau sejak kecil aku ingin sekali menjadi seniman. lantas, aku menolak iddenya dan mengatakan pendapatku untuk mengambil jurusan kesenian. Tapii apa yang ia perbuat?! Malah memarahiku habis-habisan, menghina pendapatku, mencaci impianku sejak kecil itu, mengatakan kalau aku benar-benar sinting dan bodoh bila masuk ke fakultas kesenian.

Kukatakan kepadanya setengah membentak, "Aku sudah besar! Aku bisa menentukan kehidupanku sendiri! Ini hidupku, hakku pribadi untuk menentukan kemana aku akan melangkah selanjutnya! Aku bukan robot yang bisa kau perintah kesana kemari!"

Mendengar aku tetap kekeh pada pendirianku, ia malah mengancam tak mau membiayai kuliahku. Tantangan yang ia beriak pun kujawab dengan aksiku minggat dari rumah.

Hidupku kembali seperti dulu, sendirian. berjuang sendiri demi hidupku, bebas, bebas menggapai semua impianku yang sejak dulu ingin kucapai. sampai akhirnya 2 tahun berlalu. Tiba-tiba, ia datang dan berdiri di depan pintu kost ku.

Penampilan laki-laki itu jauh berbeda dari 2 tahun yang lalu. Matanya cekung karena kurang tidur, badannya kurus dan mulai mengeriput, dan... dimana wajah angkuh nan sombong yang biasa ia tampilkan itu? Hanya ekspresi sendu yang dapat kulihat dari wajahnya saat itu. Tapii rasa kesal dan amarahku masih amat besar terhadapnya. Langsung ku usir dia dari rumahku. ternyata sifat keras kepalanya sama sekali tak berubah. Ia tetap berdiri disana, tak bergeming sedikitpun. Kesalku bertambah, kudorong badannya menjauhi pintu lalu aku pergi menjauh. Ya tuhan, betapa keras kepalanya ayahku ini. Dengan fisik rentanya ia masih mencoba mengejarku. Aku terpaksa mempercepat langkahku, berlari menyebrangi jalan raya yang tepat berada di depan kost-ku.

Yang aku tak tahu, saat itu sebuah mobil box melaju kencang ke arahku. Saat aku menyadarinya, aku hanya pasrah dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
* * *

Saat aku membuka mata, kukira aku telh terbang menuju alam lain sana, tetapi tidak. Nyatanya aku masih terduduk di pinggir trotoar, sementara warga semakin ramai berkerumun di depanku. Rasa penasaran membuatu bangkit dan melihat apa yang telah terjadi.

Dalam pandanganku, laki-laki itu terkapar, bersimbah darah. Tak terasa air mataku menggenang, bahuku mulai berguncang keras. Entah mengapa tangisku mengalir deras tanpa bisa ditahan. Rasa takut kehilangan menjalari seluruh ragaku. Untuk pertama kalinya, aku menyadari, aku menyayangi Ayahku.
* * *

Pendarahan otak yang dialami ayahku gara-gara kecelakaan itu terlalu parah. Nyawanya tak bisa diselamatkan. Sebagai anak satu-satunya, jelaslah kalau hanya aku yang bisa meneruskan bisnis ayahku ini. 2 hari setelah kematian ayah, aku langsung pergi ke kantor. Mengurus semua keperluan yang kubutuhkan untuk menggantikan ayahku di perusahaan. Aku masuk ke dalam ruangan kerja ayahku untuk membereskan barang-barang peninggalannya. dan aku menemukan sebuah surat lusuh yang menarik perhatian ku dalam laci mejanya. Kubaca surat itu perlahan. Napasku tertahan membaca setiap kalimat dalam surat itu.

......Anakku tersayang.. Langit Ramadhan. Dimana kamu sekarang? Ayah kangen sama kamu. Apa kamu masih ingat sama ayah? Pasti kamu sudah besar sekarang. Maafin ayah, nak. Maafin ayah. Ayah pergi meninggalkanmu dan ibumu. ayah menterlantarkanmu. Maafin ayah. Ayah nggak bisa menemani kamu tumbuh dewasa. Ayah nggak pernah memberimu semangat saat kamu bertanding bola dengan teman-temanmu. Ayah juga nggak pernah menemani kamu bermain, Ayah nggak pernah melakukan apa yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya. ayah minta maaf, nak. Ayah benar-benar minta maaf. Meninggalkanmu dan Ibu, adalah kesalahan terbesar yang pernah ayah buat. maafin Ayah...

Bercak tetesan air mata ayah masih tercetak jelas diatas kertas itu. Membuatku menyadari kesalahan terbesarku. Membenci Ayahku, seseorang yang dulu sangat kurindukan kehadirannya. kunantikan kasih sayang serta pelukannya. Kini semua telah terlambat. Aku benar-benar terlambat menyadarinya, bahwa sebenarnya aku sayang ayahku, bahwa sebenarnya aku butuh perhatian dan kasih sayangnya, seperti anak-anak lainnya. Lantas aku mengutuki diriku. Tuhan, mengapa penyesalan selalu datang terlambat?

Thank’s to Mirza Diani Amalia, lahir di Jakarta, bulan Agustus 16 tahun lalu.

Aku Bukan Berandal Kecil



Aku Bukan Berandal Kecil
Karya Ernita Lusiana

“Dasar berandal kecil”, umpatnya pada adik kecilku. Dia yang sejak tadi duduk di singgasananya, bangkit menghampiri adik ku. Tangannya terulur perlahan menyentuh luka lebam yang tercetak jelas pada wajah adikku. Setelah meneliti dengan seksama, dia menghempaskan wajah adikku kasar sambil mencibirnya.
“Bisakah kau menjadi anak yang baik, kau hanya bisa menyusahkan”, kata-katanya masih terdengar jelas walau dia telah menjauh dari kami.

Kudekatkan tubuhku pada adikku yang hanya diam mematung, kupeluk tubuh kecilnnya. dia tak marah ataupun menangis. Ini semua membuatku muak. Kuusap rambutnya pelan. Meredamkan sedikit emosi yang bahkan tak dapat dia tunjukkan.
“Bisakah kau tidak berbuat ulah, Hah?! Kau ini memang berandal”. Bentaknya diiringi tamparan pada pipi adikku yang lebam. Luka lebam semakin banyak pada wajahnya. Ku rasa hari ini dia berkelahi lagi.
“Bisakah tidak berkelahi”, tanyaku saat mengobati wajah yang penuh lebam itu. Dia menyingkirkan tanganku kemudian beranjak pergi dari ruang tengah menuju kamarnya.
Braaakk. Dia membanting kamarnya. Sudah sepekan ini dia selalu pulang dengan luka lebam. Aku tak tau kapan tepatnya, tapi adikku menjadi orang yang tak pernah bicara sejak saat itu.
***


“Dasar pembenuh, kau pembunuh, kau seorang pembunuh”. Aku hanya memeluk adikku yang terisak hebat saat itu. Seorang bocah berusia lima tahun yang dituding sebagai seorang pembunuh. Aku pun tak dapat menyembunyikan rasa sedihku. Tapi ini bukan salah adikku.

“Kenapa tidak kau saja yang mati”. Ayah menyeret adikku kasar. Melepaskannya dari pelukanku. Memukul dan mencacinya. “Bahkan kau hanya anak haram”, teriaknya yang diiringi tangis dari adikku yang tidak tau apa-apa. Ini takdir, ibuku meinggal karena menyelamatkan adikku. Ini bukan salahnya. Ayah sering menyebut dia anak haram. Bahkan jauh sebelum hari ini, ayah membencinya.
Terlalu mencintai ibu, ayahku bahkan menerima kala dia membawa anak hasil hubungan gelapnya denga laki-laki lain. tapi dia tak pernah bersikap baik pada adikku.

Kami terbilang keluarga yang cukup berada. Tinggal di kota dan dekat dengan keramaian. Adikku bermain terlalu jauh, dia bahkan keluar pagar dan menuju arah jalan raya mengambil mobil-mobil an yang memakai remot kontrol. Mobil kecil itu berbaur dengan mobil sungguhan yang melintas dengan kencang di jalan. Fokus hanya pada mobil kecilnya. Mobil sungguhan itu melaju kencang, seperti baru belajar naik mobil. Supir itu tidak bisa mengendalikan mobil dengan baik. Ibu yang melihat kejadian itu. Dengan cepat mendorong adikku ke trotor dan dengan cepat mobil itu menghempaskan tubuh ibuku.

Hanya luka lecet yang didapatkan adikku. Tapi ibuku dia mengalami pendarahan hebat, dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
***

Lagi-lagi terdengar suara teriakan dan makian. Aku yakin itu suara ayah yang sedang memarahi adikku. Aku seperti sebuah patung, yang hanya bisa diam tanpa melakukan apapun. Aku bukan kakak yang baik untuk adikku. Bahkan aku tak bisa membelanya.
Aku muak dengan semua yang dilakukan ayahku. Dia menjadi berbeda semenjak ibu pergi. Walau dia tak pernah memarahiku. Tapi dia jarang bicara padaku, hanya seperlunya.
“Bisakah ayah menerima Nino”, kataku memberanikan diri. “Kau tak perlu ikut campur, urus saja sekolah mu”, jawab ayah sambil beranjak meninggalkanku. “Ayah”, kataku menahan tangannya. “Bisakah ayah bersikap baik padanya”. Ayah mengerutkan keningnya. “Diam dan jangan terus membelanya”, bentak ayah sambil melepas tanganku kasar.

Aku merasa tak punya keluarga. Hidup seperti ini bertahun-tahun. Ini menyiksa. Bahkan kadang aku takut saat melihat adikku. Anak sepuluh tahun yang tidak pernah bicara, marah ataupun menangis.
“Hei, anak haram, bagaimana kabar ayahmu yang gila itu. Apa dia masih menyiksamu”. Tawa anak-anak itu menyeruak begitu saja. “Anak haram punya ayah gila”. Ejekan-ejekan pada anak kecil itu. Tangannya mengepal menahan emosi yang sudah memuncak. “Aku bukan anak haram dan ayahku tidak gila”. “Jangan pernah kau sebut ayahku gila atau aku memukulmu” bentak anak kecil itu yang kemudian melayangkan pukulannya pada anak-anak yang sejak tadi mengejeknya. Perkelahian itu terjadi, anak kecil itu kalah karena dia hanya sendiri. Dia hanya memegang luka yang terlukis jelas diwajahnya tanpa menangis.

Pikiranku masih terbayang dengan kejadian tempo hari pada adikku. Aku sengaja mengikutinya karena aku ingin tau mengapa dia selalu mendapat luka ketika dia pulang. Itu alasannya. Dia membela ayah yang selalu memukul dan mencacinya. Aku merutuki diriku sendiri, aku bahkan tidak bisa membela adikku sendiri. Tapi dia membela ayah yang selama ini membencinya.

Usahaku tak pernah berhasil, ayah tak pernah mau mendengarkanku. Dia kekeh membenci adikku.
Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan nasib keluargaku. Dua hari yang lalu ayahku over dosis obat tidur. Kata dokter jiwa ayahku sedikit terganggu. Dokter memintaku untuk menjaganya dengan baik.
***

Aku dan adikku bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Adikku tak lagi seperti dulu. Kini dia sudah mulai mau untuk bicara walau tak banyak. Teriakan, tawa, tangis mengiringi kami ke ruangan yang sering kami kunjungi. Orang itu hanya duduk diam di tepi tempat tidurnya. Sesekali dia tersenyum. Seorang wanita disampingnya tiba-tiba menjambak rambut orang itu. Dia berteriak dan melawan. Para suster itu membawa kedua orang itu dalam ruangan. “maaf sebaiknya kembalilah besok”, kata dokter.

Saat dokter memintaku merawat ayah dengan baik. Aku meminta dokter untuk merujuk ayah ke rumah sakit jiwa. Aku menceritakan semua dan dokter menerimanya. Aku bukan tak mau menjaga ayahku, aku sangat menyayanginya. Tapi aku rasa ini keputusan yang harus ku ambil. Aku juga ingin melindungi dan menjaga adikku.

“terimakasih telah menjagaku kak”, kata adikku yang kubalas dengan senyuman kebahagiaan. Mulai saat ini aku akan menjadi orang yang bisa melindungi keluargaku. Melindungi orang yang selalu memberi kebahagiaan kepadaku.

                                                     End

Mar 21, 2013

Lembah pinus berbisik cinta


Pagi itu samar dikejauhan terdengar kicau burung
riang bernyanyi didahan pohon pinus…
menyambut pagi yg cerah dan sang mentari yg bersinar indah….
edo bangun lebih awal pagi ini, ia ingin menikmati harumnya udara pagi,
Selama edo tinggal dikota B dikota kelahiran risa,
dia merasa tenang dan rileks karena bisa sedikit melupakan
pekerjaan dan rutinitasnya yg membosankan dikantor.
dia bisa istirahat total tanpa ada yg mengganggunya saat tidur…
terkecuali risa yg selalu menggodanya dengan kecupan2 kecil
dipipi dan kening edo, tapi edo tidak pernah marah
ia malah membalasnya dengan rangkulan mesra
yg membuat risa semakin menggeliat manja saat edo memeluknya….
semakin hari bunga-bunga cinta itu semakin tumbuh subur….
impian dan harapan untuk masa depan yg indah itu
sebentar lagi akan segera terwujud,
tanpa ada lagi yg dapat menghalangi cinta mereka,
hari ketiga dikota B akhirnya edo berkunjung kerumah risa,
dia dikenalkan dengan kedua orangtuanya,
sdh tidak ada lagi yg ditutup-tutupi oleh risa dari edo,
bahkan keadaan yg terburuk sekalipun,
risa bukan terlahir dari keluarga kaya raya,
kehidupan risa sangatlah sederhana rumahnya terletak
dikaki bukit, dengan hawa pegunungan yg sangat dingin
dan sungai yg jernih yg mengalir disebrang rumahnya
jg perkebunan teh yg luas terbentang tak jauh
dari belakang pekarangan rumahnya..

edo sudah bisa menerima apapun kekurangan risa
karena rasa cintanya yg begitu besar terhadap wanita ini
dia sanggup membiayai pengobatan risa karena risa memang sedang sakit
dia terkena sakit ginjal yg terkadang membuatnya merasa takut
dan putus asa karena sudah berobat kesana kemari tapi tdk kunjung sembuh,
namun berbeda dengan edo dia selalu memberikan suport dan semangat
untuk kekasihnya itu dia selalu mengajarkan risa untuk selalu optimis,
karena dia yakin semua penyakit itu pasti ada obatnya…
dan tuhan itu tdk akan memberikan cobaan diatas
batas kemampuan hamba2nya, kita hanya bisa berdoa,
berusaha dan tawakal kepadaNYA.
risa sangat bangga memiliki kekasih yg sangat pengertian seperti edo,
bahkan dia sangat ingin bisa menikah dan hidup bersama lelaki itu,
namun ada satu ganjalan dihati risa yg membuat ia tak berani untuk
melangkah kedepan menyongsong kebahagiaannya bersama pria itu.

dia merasa tak pantas mendapatkan pria sebaik edo,
dia terlalu sempurna dimata risa, dia ter lalu baik bahkan
sangat baikdanterkadang mmg risa takut jika mereka menikah nanti
dia tidak bisa memberikan keturunan dan tdk bisa membahagiakan edo,
atau malah penyakitnya semakin bertambah parah
kalau sampai gagal ginjal entah berapa banyak biaya yg harus dikeluarkan
untuk cuci darah dan berobat jalan, itulah yg menjadi pertimbangan risa…
dia merasa dirinya tdkpantas bersanding dipelaminan dengan lelaki itu,
risa tdk ingin membuat edo menangis mengasihaninya
saat terkapar dirumah sakit, dia tdk ingin keluarga edo tau
kalau dirinya bukan dari keluarga kaya, karena keluarga edo
memang berasal dari keturunan ningrat dan bisa dibilang
keluarga yg terpandang, namun bagaimanapun
edo tdk pernah sombong bahkan dia sangat mandiri
tidak pernah meminta uang pada kedua orang tuanya.
dia membiayai hidupnya sendiri dengan hasil kerjanya,
dia belajar hidup sederhana tanpa harus berpoya-poya
menghabiskan uang untuk hal-hal yg baginya tidak berguna,
membangun rumah tangga dengan orang yg dicintainya,
memiliki anak2 yg lucu keluarga kecil yg harmonis
dan bahagia itulah tujuan hidup edo.
risa sangat kagum dengan kesederhanaan edo,
dia sangat berbeda dengan mantan2 kekasih risa sebelumnya
yg selalu pamer kekayaan dari orangtuanya bahkan pacaran
hanya untuk sekedar bersenang-senang.
tanpa memikirkan untuk masa depan dan hari esok,
tapi disisi lain rasa minder itu selalu menghantui dirinya
risa sadar ia hanya seorang wanita yg lemah dan sakit2an dan juga bukan
berasal dari keluargaberadadan itu semua selalu mematahkan
semangatnya…
walaupun acap kali edo meyakinkan risa bhwa keluarganya
pasti akan setuju dengan pilihannya karena masa depannya
dia yg menentukan dan dengan siapa dia bisa bahagia itu yg dia pilih.
tidak ada yg sempurna didunia ini, bagi edo mencintai risa
dengan sempurna itu sudah lebih dari cukup…
saat edo bertandang kerumah risa dia merasa
sudah sangat akrab dengan ayah dan ibu risa edo
sudah tidak sungkan2 lagi terhadap mereka,
edo sangat ramah dan santun terhadap kedua orang tua risa…
bahkan dia mengobrol lama sekali dengan ayah risa,
keluarga risa sangat menyukai edo dan sangat setuju
jika risa menikah dengan edo nanti..
karena ayah risa bisa menilai kalau anaknya tidak akan salah pilih
edo memang sosok yg sangat menyenangkan
sosok humoris dan ramah yg membuat orang betah
dan nyaman berlama- lama mengobrol dengannya.
setelah jam 09:00 malam, edo pun undur diri dan dia pamitan
kepada kedua orang tua risa, dia bermalam divilla seperti biasa
dia bukan tidak ingin bermalam dirumah risa.
walau ayah dan ibu risa sudah menyuruhnya untuk menginap
tapi yg lebih jelasnya dia tidak ingin merepotkan risa dan keluarganya.

malam itu ia tidak bisa tidur karena pikirannya terus melayang
jauh kepada kekasihnya, padahal baru saja beberapa jam lalu
mereka bertemu tapi rasa kangen yg sudah menyesakan dada
membuatnya tidak bisa memejamkan mata.
begitu juga dengan risa.
akhirnya edo menelpon risa dan mereka
berbincang ditelpon hingga pagi.
keesokan harinya risa mengajak edo keliling
ketempat2 yg indah dikota B, mereka jalan2 berdua
dari siang sampai sore hari terus makan malam bersama….
dan setelah itu edo mengantarkan risa pulang…
tak terasa sudah seminggu edo dikota B mau tdk mau
dia harus kembali ke kota P untuk bekerja,
karena kerjaannya yg sdh menumpuk
yg tidak mungkin bisa ditinggal lebih lama lagi,
bos nya pun sudah menelponnya berkali-kali…
untuk memintanya pulang lebih cepat.
dan pagi itu bertepatan dgn hari ulang tahun edo,
risa mengantarkan edo kebandara, setelah selesai boarding
dan membeli tiket, edo menyuruh risa pulang dengan diantar oleh pak sopir
karena pesawat yg ditumpangi edo baru akan tiba pukul 03:25 sore.
dari bandara kekota B memerlukan wktu 2 smpe 3 jam,
maka dari itu edo meminta risa pulang dan tdk usah menunggunya.
karena dia tidak ingin melihat risa kemalaman djln karena terjebak macet.
edo sangat mengkhawatirkankeadaan kekasihnya itu
keadaan fisik risa memang sangat lemah dan mudah sekali sakit.
sesampainya dirumah risa menelpon edo dan
edo bilang kalau pesawat yg akn ditumpanginya itu telat.
dan hingga pukul 07:00 malam. edo belum terbang juga,
dia sudah lemas berdiri diruang tunggu,
bahkan sudah banyak sekali orang2 yg complain karena
jam kbrngkatanpswt yg tidak sesuai dgn jadwal yg tertera didlm tiket.
setelah pukul sembilan akhirnya edo menyerah dia kesal,
marah dan juga lelah akhirnya dia memutuskan kembali kekota B.
setelah mendengar kabar edo tdk jdi pulang ke kota P.
risa sangat cemas sekali dgn keadaan edo, dia bilang kepalanya pusing,
bdnnya lemas dan dia belum makan dari siang tadi.
risa menunggunya dirumah dgn rasa khawatir bercampur bahagia
dia khawatir dgn keadaan edo dan dia bahagia karena edo kembali
sebenarnya dia tdk ingin edo pergi meninggalkannya..
dan jika mungkin risa ingin memintaedo untuk tinggal lebih lama lagi…

Mar 20, 2013

Gelato And Love

 
Dia bagaikan sebuah pohon mati, tidak berbuah, tidak juga berdaun... tetapi dia terus hidup dan bertahan untuk waktu yang lama... Dia selalu diam, mematung tak berkutik... Ia tak pernah berlari terlalu kencang, atau berjalan terlalu lambat, Ia hanya memperhatikannya... Ia tersenyum namun hatinya menangis... Ia tertawa namun penderitaan yang terdengar... Ia makhluk misterius yang memasuki kehidupanku, merubah segalanya menjadi rumit, dan juga indah...”
            Sudah berulang kali Chris membaca novel karya Rosaria Cianni yang berjudul “Qualcuno” dan bagian itu adalah favoritnya. Walaupun novel tersebut merupakan buku pertama yang dikeluarkan Rosaria pada tahun 2005, tetapi Chris masih sangat menyukainya. Rosaria Cianni adalah penulis yang memberikan inspirasi bagi hidup Chris. Setiap kalimat dalam novel yang diterbitkannya selalu mengandung filosofi dan dapat membuat Chris seolah-olah terhipnotis. Ia tidak pernah kelewatan untuk sekedar meng-update info tentang penulis itu melalui fan page yang tersebar luas di jejaring media sosial. Mulai dari novel pertama sampai yang terbaru, Chris selalu mengikuti perkembangan ceritanya. Yang sedikit aneh dan terasa ganjil hanyalah, Rosaria Cianni tidak pernah menulis profil tentang dirinya di akhir halaman novelnya. Tidak ada sedikit info pun tentang dia.
            “hey Chris! Pagi-pagi sudah membaca novel, lagipula kau kan sudah berulang kali membacanya. Aneh sekali!” sahut Bianca mendekati Chris.
            Chris tidak terlalu memperdulikannya. Ia tetap fokus membaca novel pertama karya Rosaria Cianni. “ada apa kau tiba-tiba datang ke kedaiku? Aku tidak memberikan free gelato hari ini.”
            Bianca menghebuskan nafas kesal dengan kencang melalu hidung mancung nan langsingnya. “Chris, kau jangan berburuk sangka dulu terhadapku! Aku akan bayar kok, aku tidak meminta gelato-mu secara cuma-cuma.” Ia berpindah tempat duduk, dari yang semula berada di depan Chris, kini Bianca sudah berada di samping pria berambut coklat terang itu.
            Chris menaruh novel penulis favoritnya di atas meja, wajahnya nampak kesal, Ia berdiri dan tangannya bersidekap di depan dada. “Harus berapa kali aku katakan kepadamu Bianca? Tidak ada tempat untukmu di hatiku.” Chris menarik nafas dalam-dalam lalu ia berkata lagi. “kau mau pesan apa?” tanyanya cuek.
            Air muka Bianca seketika berubah suram. Tanpa ragu-ragu Chris mengatakan hal itu padanya. Apa Chris tidak sadar bahwa Ia baru saja melukai hati Bianca? Tetapi Bianca berusaha terlihat tegar. Ia memberikan senyum termanisnya kepada Chris. “Forest Berry Gelato per favore!” Chris menatap Bianca malas, kemudian Ia segera beranjak menyiapkan pesanan dari gadis yang sangat menyebalkan baginya.
            Tiba-tiba bel pintu kedai “Gelato & Caffè” milik Chris berbunyi. Ia berpikir keras, siapa orang yang akan memakan hidangan beku di pagi hari selain Bianca? Ia memperhatikan orang itu... seorang wanita dengan rambut hitam lurus panjang setengah pinggang, memakai coat berwarna biru tua, serta syawl putih yang meliliti lehernya tampak sedang mencari spot yang nyaman untuk ditempati. Ia duduk, lalu mengeluarkan laptop dari tasnya. Chris sedikit terpesona dengan wanita yang mempunyai wajah jelita tersebut. Setelah selesai membuat Gelato Forest Berry pesanan Bianca dan mengantarkannya, Ia pun berjalan menuju wanita itu dan menyodorkan daftar menu sambil memberi salam.
            buongiorno.” Ucap Chris tersenyum.
            “ah, buongiorno.” Wanita itu membalas sapaan Chris tanpa melihatnya. Ia sibuk menjelajahi macam-macam jenis Gelato di buku menu. “aku pesan Gelato Dark Chocolate dan Espresso Con Panna.” Lagi-lagi wanita itu tidak menatap Chris! Chris sedikit sebal, bukan karena tatapannya yang tak terbalas, tetapi wanita ini sedikit tidak sopan dan berlagak angkuh.
            aspetta un momento signorina!” ujar Chris lalu berjalan ke arah counter sambil masih menggerutu di dalam hatinya. “Wanita cantik namun sangat sombong.” Pikirnya.
            Ho finito.” Bianca menyisakan gelato-nya yang tinggal sedikit. Ia membereskan barang-barang yang ada di atas meja kemudian menghampiri Chris yang sedang meracik Con Panna dan mencium pipi pria itu. Chris terdiam beberapa saat, menunggu amarahnya naik sampai ke ubun-ubun.
            Vattene!” hardik Chris. Wajahnya memerah kesal. Tapi sayang, rupanya Bianca tidak takut sedikit pun, ia malah meledek Chris dan menjulurkan lidahnya. “a presto il mio amore!” Bianca tertawa geli kemudian berlari menyelamatkan diri dari Chris yang sedang mengamuk. “D- dasar!” keluh Chris sembari membawa pesanan wanita yang dipikirnya angkuh.
            Chris menahan nampan di lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya meletakkan gelato dan kopi ke atas meja dengan hati-hati. “Selamat menikmati.” Kata Chris, kali ini ia tidak menatap wanita itu lagi. Ia tau pasti ia akan diacuhkan.
            “duduklah, temani aku.” Chris hampir tak percaya. Ternyata dugaannya salah. Wanita itu... tidak sesombong seperti yang ia kira. Chris menarik bangku yang ada di depan wanita tersebut kemudian duduk dengan manis.
            Wanita itu terkekeh. “aku tidak mengira akan mendapat inspirasi di kedaimu.” Ia memandang Chris sesaat lalu kembali berkutat dengan laptopnya. Jarinya menari-nari di atas keyboard dengan cepat, sesekali ia berhenti untuk menyesap Con Panna­­ dan menyicipi gelato-nya.
            che fai ?” tanya Chris penasaran.
            “menulis.” Jawabnya singkat.
            “ah... sì, sì” angguk Chris berpura-pura mengerti. Ia bingung hal apa  yang enak untuk dibicarakan. Baru pertama kali Chris merasa gugup berada didekat seorang wanita, biasanya wanita lah yang mengejarnya. Contohnya, Bianca.
            “apa kedai Gelato & Caffè ini milikmu?” Chris senang sekali! Akhirnya wanita itu mau bertanya. Perlahan suasana kaku pun mulai mencair.
            No, ini bukan milikku. Kedai ini kepunyaan Nonna, namun semenjak Ia meninggal, aku sebagai cucu yang tinggal bersamanya dari kecil yang melanjutkan usaha ini.” ujar Chris diakhiri dengan segurat senyum yang dipaksakan.
            “Jadi kau dan orangtuamu yang mengurus ya?” tanya wanita itu lagi.
            Chris sejenak membisu, lalu berkata. “Orangtuaku sudah meninggal, mereka ditembak oleh orang tak dikenal ketika kami sedang menikmati gelato di sebuah kedai di Venezia. Nonna bilang pembunuhnya adalah saingan bisnis papaku.
            mi dispiace tanto.” Ucapnya penuh nada penyeselan.
            “tidak apa, itu sebabnya aku membenci gelato. Meski meneruskan usaha nenek ku, tetapi aku tidak pernah lagi mencoba gelato sejak kejadian tersebut.”  Jelas Chris. Entah apa yang ada dipikirannya. Ia tidak suka terlalu terbuka kepada orang lain, namun, ketika duduk bersama wanita di depannya itu, Ia merasa tenang. Setiap kata mengalir begitu saja dari mulutnya.
            Wanita itu menutup laptopnya dan memasukannya ke dalam tas. Ia menghabiskan sisa Espresso Con Panna dan Gelato Dark Chocolate-nya dengan cepat kemudian berdiri sambil menggandeng tas. “Ini adalah pagi terbaik selama hidupku. Terimakasih. Kau telah memberiku banyak inspirasi.”
Wanita itu menaruh uang di meja lalu mengulurkan kertas persegi panjang dengan latar kosong warna merah pada Chris. “ini hadiah untukmu. Aku harap kau tidak mengatakannya pada siapa pun. Jangan di balik sebelum aku keluar dari kedai ini. Arrivederci.” Katanya lalu tersenyum.
***
            Chris benar-benar terkejut bukan kepalang. Wanita yang kemarin pagi datang ke kedainya ternyata adalah Rosaria Cianni. Ya, Chris mengetahuinya dari kartu nama yang diberikan Rosaria secara langsung kemarin hari. Namun seperti dugaan Chris, pada kartu itu juga hanya terdapat nama dan pekerjaannya, yaitu penulis. Chris sungguh menyesali kebodohannya. Dia seharusnya tidak mengikuti perkataan Rosaria untuk tidak membalik kartu tersebut sebelum dirinya keluar dari pintu kedai Gelato & Caffè. Andai Ia dapat memutar kembali waktu, Chris rela memberikan apapun demi untuk bertemu lagi dengan Rosaria.
            Satu fakta tentang kemarin adalah, sebenarnya Chris tidak sengaja membuka kedainya pada pagi hari. Itu hal yang jarang sekali, atau bahkan tidak pernah Ia lakukan. Tetapi, karena semalaman Ia tidak bisa tidur dan paginya Ia tidak merasa mengantuk, akhirnya Ia memutuskan untuk membuka kedai dari jam 7 pagi. Mulanya Ia berasumsi bahwa pasti tidak akan ada yang berkunjung, namun Bianca adalah buktinya. Chris tidak tau menahu dari mana Bianca bisa mengetahui kedai miliknya sudah buka pukul 7, tapi yang pasti yang paling membuatnya sangat gembira yaitu kehadiran Rosaria. Ia tidak menyangka kemarin akan mendapat tamu seistimewa itu. Jika tau, mungkin Chris akan bersiap-siap selama 2 jam lebih untuk menyambut wanita yang dikaguminya tersebut.
            Sekarang tepat jam 12 siang, kedai semakin ramai dan Chris sedikit kewalahan mengerjakan pekerjaannya seorang diri. Sampai Bianca datang dan menawarkan bantuan. Awalnya Chris enggan, mengingat kejadian kemarin, Ia malu dan jengkel sekali. Namun apa daya Ia tak sanggup menolak, ya, karena kenyataan juga yang mendesaknya.
Bianca membawa pesanan para pelanggan dari satu meja ke meja lainnya dengan suka cita. Ia menebarkan senyumnya kepada setiap orang dan berkata begitu manis. Chris mengawasinya dari counter, hati kecilnya seperti tergelitik. Perasaan aneh yang membuat Ia tertawa dan tersenyum ini selalu datang ketika Ia memusatkan penuh perhatiannya pada Bianca. Segera mungkin Chris menghapus pikiran itu. Ia pasti bergurau karena merindukan Rosaria Cianni, wanita yang memberinya inspirasi serta mampu membuatnya merasa tenang.
“Chris, ada apa?” tanpa Chris sadari rupanya Bianca kini tengah berdiri di hadapannya. Wanita berambut coklat gelap dan bermata hijau itu menyuguhkan Espresso Macchiato dalam demitasse cup kepada Chris. “minumlah.” Katanya.
Chris meraih daun telinga cangkir itu, menyesap Espresso Macchiato dengan gaya yang khas. Entahlah seperti apa, tapi itulah yang paling disukai Bianca darinya. “delizioso.” Gumamnya pelan, sangat pelan. Chris tidak mau Bianca melompat dan memeluknya karena pujian yang Ia lontarkan.
Chris menunjuk ke arah tempat duduk paling pojok. “di sana, sepertinya baru saja ada pelanggan yang datang, tolong layani mereka.” Tuturnya.
Bianca membuat tanda hormat dan tersenyum memperlihatkan deretan baris giginya yang rapih dan putih. “Oke, bos!” terkadang, hanya terkadang... Chris merasa dirinya sedikit kelewatan kepada Bianca, padahal wanita itu sering membantunya di kedai. Ia orang yang cukup baik. Tidak. Sangat baik mungkin. Meskipun Chris sudah berulang kali memarahi dan mengusirnya, tetapi Ia tetap tidak mundur selangkah pun untuk berada di dalam hidup pria itu. Bianca tidak berniat sedikit pun untuk meninggalkan Chris. Tidak pernah, walaupun harus bersaing dengan Rosaria Cianni, Ia tidak takut.
***
Satu hari, dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan terlewati. Chris menunggu dan menunggu namun Rosaria tak kunjung datang ke kedainya lagi sejak saat itu. Chris mulai kehilangan harapan. Ia mulai berfikir, tidak mungkin Rosaria punya cukup waktu luang hanya untuk memakan gelato dan bercerita bersamanya di kedai. Rosaria pasti sibuk mempersiapkan novel terbarunya. Chris ingat betul ketika wanita itu datang, Ia berkata Ia sedang menulis. Artinya, cepat atau lambat Rosaria akan segera mengeluarkan karya selanjutnya.
Hari ini adalah tanggal 24 Desember. Bertepatan dengan momen indah 1 bulan yang lalu ketika Rosaria muncul dan memesan Espresso Con Panna serta Gelato Dark Chocolate, momen di mana Chris merasa begitu tenang. Utuh. Dan tak terasa pula Hari Natal akan segera datang. Hari Natal yang mungkin sama seperti tahun lalu, tidak ada yang spesial. Chris hanya akan sibuk bekerja dalam kesendirian di tengah kerumunan orang-orang yang menikmati hari natalnya bersama keluarga, teman, atau kekasih mereka.
“Chris... kau ada acara untuk malam natal?” Bianca tampak sedang bersih-bersih, menyemprotkan semacam cairan kimia pada permukaan meja.
Hari ini kedai tutup lebih cepat, orang-orang terlihat begitu sibuk. Terutama keuskupan, mereka sibuk untuk menyiapkan Misa Natal. Chris bukanlah seorang Katolik, Ia mengikut Papanya yang berasal dari Amerika dan seorang Karismatik. Ia tidak tau akan melakukan apa pada perayaan natal tahun ini. Kebingungan selalu menyeruak ke dalam pikirannya ketika perayaan Natal sudah dekat.
“aku tidak kemana-mana.” Ucap Chris ketus.
Air mukanya sungguh tidak menarik. Bianca yang tadinya ingin mengajak pria itu jalan-jalan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia tidak berani mengganggu Chris jika wajahnya sudah menampakan aura negatif seperti itu. Setelah selesai membersihkan meja Bianca segera pamit kepada Chris. Dan disaat inilah Chris benar-benar sendiri. Kesepiaan.
Alih-alih menghilangkan rasa sunyi, Chris tergerak membuka kembali kedainya. Pukul 22.00. Ia tau tidak akan ada orang yang datang, semua sibuk dengan acaranya masing-masing. Chris berjalan ke arah pohon natal yang masih bersih tanpa ornamen. Melihat pohon natal Ia jadi teringat akan orangtua dan neneknya. Chris biasa menghias pohon natal bersama mereka, namun, sekarang keadaan berbalik. Semua sudah berbeda. 15 tahun Ia merayakan natal tanpa orangtuanya, dan 5 tahun tanpa nenek yang sangat Ia sayangi. Chris mengambil ornamen berbentuk rumbai yang panjang berwarna merah dan emas lalu melingkarkannya di sekeliling pohon natal, ditambah bola-bola mengkilat warna perak-biru, cupid yang sedang memanah, malaikat-malaikat bersayap, serta tak ketinggalan figura santa claus dan tongkatnya, dan masih banyak ornamen lainnya.
Tiba-tiba bel pintu kedai Chris berbunyi. “seseorang datang?” benaknya.
Chris membelokan tubuhnya. Ia melihat seorang pria berumur sekitar 30 tahun yang memakai kaca mata berdiri di dekat counter. “buonasera signore, ada yang bisa aku bantu?”
ah yes, Americano please.” Ujar pria berjanggut tipis itu. “you can speak English Sir ?” tanya Chris sembari membuat pesanan. “of course, I’m an English man, you know!” Pria itu merapatkan jaket kulitnya yang tebal dan mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “here, hope it helps.” Ucap Chris menyuguhkan kopi pesanan pria itu.
why are you working? It’s Christmas eve, you’re so weird!” Chris menahan emosinya. Ia tidak mau merusak malam natal yang damai ini. Ia lebih memilih diam daripada harus beradu mulut dengan pria asing.
I’m just kidding. By the way, you make good coffee kid.” Chris malas. Sungguh malas. Ia tidak tahan dengan pria itu. Ia ingin menutup kedainya segera dan pergi ke tempat tidur.
Rosaria wants to meet you.” Chris menjatuhkan cangkir yang sedang dibersihkannya. Ia terkejut. Ia menghampiri pria itu.
what did you say?” Chris mengepalkan kedua telapak tangannya. Seketika tubuhnya gemetar mendengar nama perempuan itu.
Pria berkacamata tersebut menghela nafas panjang. “Rosaria wants to meet you. Rosaria Cianni. I’m her editor. She asked me to come to your place to tell you that.
Chris mencoba menanggapi dengan enteng. Ia tidak mau percaya begitu saja. “Stop joking around Sir. You should go, I want to close this shop. Here’s your bill.
Pria itu menaruh uang di atas meja. “It’s up to you whether you want to come or not. I’m just doing what She asked me to do. The choice is yours.” Lalu Ia mengeluarkan secarik surat, meletakannya di dekat bill dan meninggalkan kedai Chris.
Chris menggapai kertas note tersebut. Ia membacanya dengan perlahan. Perlahan- sampai air mata mengalir di pipinya tanpa Ia sadari.
***
Minggu, 25 Desember pukul 07.00
Chris mencoba menghubungi Bianca berulang kali namun ponselnya tetap tidak aktif. Ia ingin Bianca menemaninya untuk menemui Rosaria. Ia tak akan sanggup melihat wanita itu terkulai di kasur seorang diri. Chris gelisah. Ia berjalan bolak-balik sambil menggenggam surat dari Rosaria yang diberikan pria itu kemarin malam. Ia tidak pernah tau bahwa keadaannya akan seburuk ini. Ia sungguh merindukan Rosaria Cianni! Chris membaca ulang surat dari Rosaria;
Chris Vicenzo, itu bukan namamu? Aku mengetahuinya dari internet, kau tidak tau bahwa kau ini cukup terkenal sebagai penjual gelato tertampan? Itu sebabnya aku tidak perlu repot-repot kembali ke kedaimu hanya untuk menanyakan nama pemiliknya. Chris... aku telah membuat draft cerita novelku yang berikutnya. Aku ingin kau bekerjasama dengan editorku Mr. Benjamin (aku tau kau pasti sudah bertemu dengannya). Aku mohon lanjutkan novelku ini Chris. Aku mengerti kau pasti akan menolaknya karena alasan ‘tidak punya pengalaman dalam hal menulis’ tetapi aku mohon kepadamu... cobalah, untukku. Dan saat kau selesai, berikan judul novel ini ‘La Fedeltá’. Satu lagi yang kau perlu tau, aku rasa aku jatuh cinta dengan salah satu penggemarku. Ia adalah yang saat ini sedang membaca surat dariku. Merry Christmas and I hope God always be with thee.
“Hey Chris! Buka pintunya!” Bianca! Chris bergegas membuka pintu kedai. Belum sempat Ia berbicara Bianca langsung menarik pergelangan tangan Chris menuju mobilnya.
“kita mau kemana?” tanya Chris heran.
“ke rumah sang penulis yang sangat kau kagumi dan cintai.” Chris tak berkata apa pun. Ia benar-benar bingung. Bagaimana bisa Bianca tau rumah Rosaria? Apa mereka memiliki hubungan keluarga? Saudara misalnya?
“Chris, kau ingat ketika dulu kita masih duduk di bangku kuliah? Bukankah aku yang memperkenalkan padamu novel pertama karangan Rosaria Cianni yang berjudul ‘Qualcuno’? dan tanda tangan di halaman pertama novel tersebut bukanlah tanda tanganku, tetapi itu adalah tandangan Rosaria. Ia memberikan novel pertamanya yang bahkan belum terbit di toko manapun kepadaku sebagai hadiah ulangtahunku. Ia adalah sepupuku.” Ungkap Bianca.
Chris shock. Ia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Jadi, apa kau juga tau wanita yang datang waktu itu adalah Rosaria?” tangan Chris mengepal kuat. Gemetaran. Ia sungguh marah.
“i- itu, aku...” Chris memotong perkataan Bianca. “tidak perlu dijelaskan.” Ujarnya geram.
Sepanjang perjalan menuju rumah Rosaria tidak satu pun diantara mereka yang membuka mulutnya. Chris menopang dagu memandang keluar kaca mobil dan Bianca fokus menyetir. Bianca benar-benar merasa bersalah pada pria itu. Ia tidak bermaksud untuk membohonginya. Alasan Ia melakukan hal itu, semua karena ‘Cinta’. Ia tidak ingin kehilangan Chris Vicenzo. Tetapi Bianca sadar, sepertinya cara Ia melindungi Chris dari wanita lain salah. Bianca harap Chris akan mengerti suatu hari nanti. Dan kini, Bianca siap untuk meninggalkan pria yang pernah Ia cintai.
“Paman Ben! Di mana Rosaria?!” tanya Bianca dengan intonasi tinggi begitu memasuki tempat tinggal sepupunya bersama Chris.
“Bianca, Chris, kalian telat. Orangtua Rosaria baru saja membawanya pergi.” Ucap Benjamin tak tega.
Chris jatuh bersimpuh. “kemana? Kemana Rosaria pergi?”
Ben menatap Chris nanar. Ia dapat melihat pemuda itu sangat mencintai Rosaria. “Amerika, mengobati penyakitnya.”
***
“Papa!” pekik seorang anak berumur 6 tahun. Ia lari menuju rangkulan papanya yang sedang beristirahat sambil menikmati gelato.
“Grazia!” Pria yang dipanggil papa itu meraih anak perempuan kesayangannya dan menggendongnya.
“Grazia, mama bilang jangan lari-lari seperti itu!” omel wanita itu kepada anaknya.
“tidak apa. Grazia, kau mau gelato?”
per favore.” Angguk Grazia semangat.
Pria itu berjalan ke arah counter pembuatan gelato dan istrinya Rosalie mengikutinya dari belakang. “Chris, aku ingin bicara.” Ucap Rosalie sedikit gugup.
Meski sudah 6 tahun bersama, tetapi Rosalie yakin Chris tidak benar-benar berada di dunianya. Chris tidak pernah berbicara panjang lebar, dingin, dan selalu menghindar dari Rosalie. Namun kepada Grazia Ia sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tidak, Rosalie tidak cemburu terhadap anaknya sendiri. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya. Tidak seharusnya Ia jatuh cinta dengan penulis buku ‘La Fedeltá’ itu.
Chris membelai rambut Grazia. “ini sayang gelato-mu. Papa ingin bicara sebentar dengan mama. Kau di sini saja ya?” Grazia tersenyum dan mencium pipi Chris. “sì Papà.”
Lalu Chris menghampiri Rosalie yang sedang duduk di luar kedai. Menunggu.
“hal apa?” tanya Chris sekenannya.
“kita harus mengakhiri ini.” ujar Rosalie tertunduk tak berani menatap mata Chris.
Chris duduk di samping kiri Rosalie, memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku coat. “jika itu yang kau inginkan, aku tidak bisa mencegahnya.”
Rosalie mengalihkan pandangannya ke arah kanan. Ia berusaha berbicara walaupun kini suaranya terdengar serak seperti orang sedang menangis. “kenapa Chris? Kenapa kau melakukan ini semua kalau kau tidak mencintaiku? Kau bahkan tidak mau mencoba mempertahankan hubungan kita.”
Chris menghela nafas, mengeluarkan gumpalan asap dingin dari mulutnya. “Salah. Kau salah. Kau lah yang tidak mau mencoba mempertahankan. Untuk apa jika hanya aku seorang yang mempertahankan hubungan kita?”
Chris memalingkan tatapannya pada Rosalie. Ia mendekap wajah Rosalie dengan kedua telapak tangannya yang besar dan hangat. Chris mendekatkan wajahnya ke arah Rosalie, dan mencium bibir wanita itu dengan lembut.
“jangan berfikir aku tidak mencintaimu. Aku sangat mencintaimu Rose. Tolong, bertahanlah sedikit lebih lama lagi. Aku butuh waktu untuk melupakan Rosaria. Dan aku juga membutuhkanmu serta Grazia untuk tetap berada di sisiku... untuk memberiku kekuatan.” Rosalie tidak mampu menahan air matanya terjun bebas. Ia memeluk Chris dan menangis di pundak suami yang sangat Ia sayangi.
“aku akan melakukan yang terbaik Chris, aku akan selalu bersamamu.”
“kau melakukan hal yang benar Chris.” Ucap seseorang. Chris seketika melepas dekapannya. Ia tercengang melihat sosok wanita yang sedang berdiri disebrang jalan. Wanita itu seperti... Rosaria! Perlahan Ia mulai melangkah mendekati Chris dan Rosalie. Sampai akhirnya Chris dapat melihat dengan jelas.
“Rosaria?” katanya terheran. Kedua mata Chris tak berkedip dan terus memandangi Rosaria yang sesekali tersenyum.
“Rosaria?” Rosalie kebingungan. Apa maksud Chris wanita yang berdiri di hadapan mereka berdua saat ini adalah wanita yang sangat dicintai suaminya itu?
“kau tidak perlu khawatir, aku kembali ke Italia bukan untuk merebut Chris. Aku hanya rindu akan kenanganku dulu bersamanya. Aku juga sudah menikah, sama seperti kalian.” Rosaria menjelaskan pada Rosalie dengan santai. Ia tidak ingin istri Chris salah paham terhadapnya. Ia memang mencintai Chris, namun, itu dulu.
Tiba-tiba Rosalie berdiri dan memeluk Rosaria. “aku akan menjaganya Rosaria. Aku akan membuatnya bahagia.”
Rosaria mengendurkan rangkulan Rosalie, sedangkan Chris memperhatikan perbincangan kedua wanita itu. “ya, aku yakin kau pasti bisa.” Rosaria tersenyum, memberi suntikan semangat untuk Rosalie.
***
Rosalie yakin sepenuhnya dengan Rosaria maupun Chris. Yang dibutuhkan Chris saat ini adalah Rosaria seorang, Chris ingin semua kejadian di masa lalu menjadi jelas. Dan Rosalie mengijinkan itu. Chris meminta izin kepada Rosalie untuk berbicara empat mata dengan Rosaria. Rosalie pun masuk ke dalam kedai dan menemani anaknya yang sedang menikmati gelato. Meskipun dengan sedikit rasa cemas di hati... cemas akan perasaan Chris yang takutnya justru akan semakin kuat kepada Rosaria setelah Ia kembali ke Italia, dan cemas akan Rosaria yang mungkin masih mempunyai rasa terhadap Chris.
“mengapa pergi tanpa menungguku?” tanya Chris sambil menatap Rosaria dengan teliti. Wanita itu tidak berubah sedikitpun. Masih dengan gaya rambut yang sama, dan cantik seperti dulu.
Rosaria tertawa kecil. “kau masih saja menanyakan hal itu! Aku kembali untuk bertemu denganmu dan menikmati gelato buatanmu yang lezat Chris.”
“jawablah... karena hanya jawabanmu yang bisa menenangkan hatiku dan juga sekaligus melepaskanmu, menerima Rosalie sepenuhnya.” Ucap Chris datar. Nadanya begitu serius dan tegas.
“karena jika aku bertemu denganmu sebelum pergi ke Amerika, mungkin aku tidak akan mau meninggalkan tempat ini. Aku ingin sembuh Chris. Aku sangat berterimakasih kau telah meneruskan novelku. Tetapi setelah aku memikirkannya berulang kali, aku tidak ingin itu menjadi karya terakhirku. Walau harus menyakitimu dengan kepergianku, aku ingin terus menulis. Aku ingin kau tetap membaca novelku, dan memahami perasaanku yang sebenarnya.” Rosaria mengeluarkan sebuah buku dengan cover berwarna biru berjudul ‘La Fedeltá 2’ dan mengulurkannya kepada Chris. “ini adalah novelku yang akan terbit besok. Cerita ini adalah kelanjutan dari novel yang dulu aku dan engkau buat. Ini juga adalah ungkapan perasaanku kepadamu. Bacalah dan kau akan mengerti Chris.” Jelas Rosaria lalu tersenyum dan beranjak dari sana.
Chris membiarkan Rosaria pergi. Ia hanya ingin sendiri... dan membaca buku itu.
 “...aku berharap tidak akan bangun dari mimpi ini, aku ingin tetap memejamkan mataku dan memeluk kehadiranmu untuk diriku seorang. Namun, aku pikir aku terlalu serakah. Aku tidak seharusnya seperti ini, tetapi hatiku sangat menginginkanmu. Maafkan aku... Kau tidak pantas jatuh cinta padaku, aku hanya wanita berdarah dingin yang tamak akan hal bernama ‘cinta.’ Kesetiaanku telah membuatku buta selama ini... Rasa cintaku telah membelenggumu dalam dimensi lain hingga kau tak mampu merasakan bahwa ada wanita lain yang ditakdirkan untuk bersama denganmu. Aku akan melepaskanmu... Aku akan membiarkanmu membentangkan sayap indahmu, terbang bebas, dan menghirup aroma kehidupan yang sesungguhnya...  yang tak pernah dapat ku berikan kepadamu.”
THE END